Persimpangan Nasib

Nasib selalu menjadi bulan-bulanan. Dapat cipratan korupsi, nasib. Dapat kursi jabatan, nasib. Jadi presiden, nasib. Hebat bener nasib ini.

Saya ingat filem berjudul Butterfly Effect. Mengisahkan seseorang yang hanya dengan melihat atau membaca diarynya, rohnya bisa terbawa ke saat itu. Ruang dan waktu saat diary itu ditulis di tulis. Dan di situ dia bisa mengubah nasibnya. Dan hebatnya, nasib dia 180 derajat berbeda, jika pada suatu kejadian, dia melakukan hal A, atau hal B.

Contoh dalam film itu, karena iseng, mereka membuat petasan yang dipasang di kotak surat. Ada 4anak disitu. Saat kejadian pertama, petasan meledak dan menewaskan bayi yang digendong ibunya saat membuka kotak surat tersebut. Satu anak masuk penjara. Yang anak perempuan jadi pelayan yang dibayangi trauma masa kecil karena pernah diperkosa ayahnya. Anak ketiga sakit jiwa dibayangi rasa bersalah.

Lalu dia membaca diary sebelum kejadian, dan mencoba beberapa alternatif. Pertama ia berlari menyelamatkan anak itu, dan akhirnya meledakkan kakinya sehingga dia lumpuh. Seumur hidup dia lumpuh. Lalu dia meloncat lagi ke kejadian sebelumnya, sebelum teman perempuannya diperkosa ayahnya, dan mencoba menghalangi. Teman satu masuk penjara, sementara dia dan teman perempuannya jadi anak gedongan. Begitu ujicoba terus, sampai akhirnya dia menemukan skenario yang menurutnya ‘terbaik’.

Kita tidak akan tahu, bahwa kejadian yang menghampiri kita setiap harinya, jika kita sikapi berbeda, ujung belakangnya sangat berbeda sama sekali. Misalnya dulu waktu SMA saya ngotot masuk A3, sehingga di kemudian hari saya tidak bisa sekolah teknik. Coba kalau masuk A1, mungkin sama sekali berbeda. Atau memutuskan untuk merantau. Jika di tempat, apa yang sebenarnya terjadi kemudian.

Jadi, setiap hari kita melewati persimpangan nasib. Masalahnya adalah bagaimana dalam persimpangan itu, kita sudah memilih yang terbaik? Itu memang misteri ilahiah. Kalau orang islam, sehari minimal dibaca 17 kali, ihdinash shiratal mustaqim, Wahai Penentu Jalan, tunjukkanlah padaku jalan yang lurus.. begitu? Atau enggak?

Entah kenapa saat menulis ini, saya ingat guru virtual saya, Emha Ainun Nasib. 🙂

9 tanggapan pada “Persimpangan Nasib

  • Desember 5, 2007 pukul 9:52 pm
    Permalink

    Hahah :). Yang lupa ditulis di film itu adalah bahwa masa depan hanya ditentukan oleh hari ini, bukan oleh masa lalu.
    So, sibukkah minggu2 ini?

  • Desember 7, 2007 pukul 8:52 am
    Permalink

    tuan koen, minggu ini dan minggu depan Insya Allah ada terus.. gimana? SMS saya yang terakhir juga tak berbalas..

  • Desember 10, 2007 pukul 5:39 pm
    Permalink

    *paragraph dua*
    pada paragraph kedua, kalau kata “di tulis” ditulis dengan “ditulis” saya tidak akan menuliskan komentar di blog ini. 🙂

  • Januari 2, 2008 pukul 9:58 pm
    Permalink

    wah ketemu yang begini lagi… saya jadiin blogroll ya? 😀

  • Januari 3, 2008 pukul 4:07 am
    Permalink

    Lho ya kalo tiap hari mintanya ditunjukkan jalan yg lurus, ya kalo nemu persimpangan gak usah bingung lagi, ambil jalan yg lurus, jangan belok-belok … hehehehe 😛

  • Januari 4, 2008 pukul 3:42 am
    Permalink

    wow n wow,

    ketemu lagi 🙂

  • Januari 8, 2008 pukul 3:26 pm
    Permalink

    @sitijenang: maksudnya nasib lagi naik daun?

    @dheche: antara titik berangkat dan titik akhir itu sebetulnya garis lurus saja. Buat apa belak belok :-). Kalau anak gunung bilang, triangulasi titik awal, plot titik akhir, tarik garis lurus dan tebas! 🙂

    @dodot: ktemu di mana ya? hehe

  • Maret 29, 2011 pukul 10:52 am
    Permalink

    hahahahahahaaaa,itu cuman film…
    ga mungkin ada kejadian seperti itu mas…
    berarti kita bisa mengubah rahasia tuhan donk..
    hahahahahaaa,imposible….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *