Jakarta 1998 Lagi

Sesampai di Klender, saya mendapati keluarga yang sudah berkumpul. Tapi ibu masih di pasar. Saya menyusulnya dan membantu merapikan dagangan. Anehnya, sepanjang jalan ke pasar, banyak tetangga berlarian mebawa sesuatu.

‘Ada apa sih pak?’

‘Noh lagi pada ngambilin barang di Jogja’

Rupanya mal Jogja lagi dijarah.

Selesai bantu merapikan dagangan dan pulang, saya beranjak ke Jogja. Hari sudah sore. Waktu itu lepas asar. Saya duduk di rel kereta sebelah pasar. Di depan saya, mal Jogja lagi berkobar-kobar. Seperti orang-orang yang menyaksikan BCA terbakar yang baru saja saya temui tadi siang, saya khusuk memperhatikan Jogja dilalap api. Banyak anak kecil, tua muda melihat tanpa ekspresi. Namun yang paling jadi tanda tanya adalah, apakah di dalam ada orang? Tadi sempat terdengar celetukan di dalam masih banyak orang. Saya juga sempat buka bicara dengan orang samping saya berdiri.

‘Kok bisa kebakar?’

‘Tadi siang sih Jogja masih buka. Terus ada yang lemparin batu ke mal. Begimane nggak tau, tau-tau orang-orang udah pade ngambilin barang. Ehh, lampunye mati. Karena gelap, di dalam orang pada nyalain lilin di lorong-lorong biar keliatan. Mungkin ada lilin yang ketendang nyamber dagangan. Nggak tau juga sih. Taunya udah jadi begini.’

Keesokan harinya pertanyaan saya terjawab. Sekitar 150 orang mati terpanggang di mal Jogja. Kata berita, itu korban terbanyak. Yang kedua di Slipi Jaya, 100 an orang korbannya.

Pagi-pagi saya ke sana untuk melihat. Di parkiran mal mayat-mayat gosong dipajang kayak ikan asin baru diasepin. Tapi semuanya sudah ditutup plastik. Saya nggak berani membukanya. Banyak orang menangis mencari saudaranya yang belum pulang. Ada yang melihat-lihat. Ada yang mengorek-orek celana, dan berharap menemukan KTP di dalamnya. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana mungkin mengenal kondisi mayat? Namun ada juga yang menemukan. Entah memang menemukan atau asal ambil. Beberapa plastik mayat dimasukin ke dalam bajay. Dianya sendiri berdiri di pintu bajay, menuju ke arah Kebon Singkong.

Saya pulang, dan lupa, apa yang saya rasakan saat itu. Yang saya ingat, di malam harinya banyak diadakan pengajian. Ada anak tetangga yang nggak balik, tapi mayatnya nggak ditemukan. Kata ibunya udah sempet ambil barang, dan ditarok di rumah, tapi balik lagi kesana. Setelah itu dia nggak kembali. Dan saya memang lupa apa yang saya rasakan saat itu.

4 tanggapan pada “Jakarta 1998 Lagi

  • Januari 18, 2008 pukul 8:58 am
    Permalink

    saya ngak berani membukanya

    ngak? nggak? 😀

  • Januari 18, 2008 pukul 5:09 pm
    Permalink

    iya iya udah dibetulin 🙂

  • Januari 21, 2008 pukul 3:56 pm
    Permalink

    perasaaan lupa itu ada di dalam lubuk hati, dekat dengan rasa senang, sedih dll..
    jadi kalau mau ngeluarin lupa, coba mikir yang seneng2.. jangan yang sedih..nanti malah jauh..

  • Pingback:Jakarta 1998 dan Pak Tua - Ahmad Sofyan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *