Membaca tulisan Pramudya selalu mencabutku dari kasur tempat aku membaca, ke alam tulisannya. Ceritanya begitu hidup. Semangatnya begitu terasa. Sinikalnya begitu menusuk. Pragmatis. Humanis. Bau anti tuhannya yang mewarna. Lengkap dengan cibirannya tentang agama. Bukunya yang pernah aku baca baru dua bagian dari tetralogi, yakni bumi manusia dan jejak langkah, terus cerita dari blora (kumpulan cerpen tapi oke bangettt), dan mereka yang dilumpuhkan. Kesemuanya sudah aku baca sekitar tiga tahun lalu, namun sekarang tak bosan aku baca lagi. Terlepas dari pandangan politik dan ideologinya, karya-karyanya patut dibaca oleh setiap anak bangsa. Biar tahu apa itu sastra. hehehe.. satu karangan mochtar lubis, senja di jakarta, juga rada-rada mirip. realisme kali ya alirannya..kalau ada aliran itu juga hehehe.. Yang aku heran, keduanya kok bisa bermusuhan yaaa? Dulu gara-gara Pram dapat Ramon Magsaysay Award, Mochtar Lubis ngebalikin award yang sama yang pernah diterimanya. Juga mungkin buat yang doyan buku, masih inget dengan heboh buku \’Prahara Budaya\’ itu..
Btw, lumayan bisa jadi obat pusing ditengah semua permasalahan yang ada di program yang sekarang lagi aku bikin. Mo nerusin \’titik balik peradaban\’ lagi males. Yang berat-berat lagi susah masuk ke otak, paling malah pikiran lari kemana-mana. Besok pengen beli perburuan sama keluarga gerilya. Kemaren sempet gue liat di gramedia. Jadi cerita tentang fisika yang baru aja dibaca, pending dulu…hihihi..enaknya punya media catetan pojok..bisa nulis semaunya.
Bila dulu jaman bisa mencetak sastrawan-sastrawan humanis yang sangat dekat dengan hidup sehari-hari, kenapa sekarang nggak ada yaaa (Atau aku yang kurang nyari?) Aku pernah baca kuntowijoyo. Datar. Putu Wijaya. Ngebosenin. Umar Kayam. Nggak ada yang istimewa. Paling baru Saman, Ayu Utami yang rada menggigit. Tapi itupun masih realisme yang eksklusif terlepas dari kehebatannya bertutur dan menyusun plot.