“Kenapa saya sering gelisah ya?” gumam pragmatis muda, seolah berbicara dengan dirinya sendiri. Matanya menatap langit-langit gubug tempat beberapa laba-laba membangun peraduannya.
“Anda gelisah karena takut akan sesuatu. Karena banyak hal terjadi di luar kendali Anda..”
“Tapi semua orang pasti takut akan sesuatu. Sudah jadi sifatnya sebagai bagian dari alat bertahan hidup”
“Memang benar. Dengan takut manusia dapat mempertahankan spesiesnya hingga sekarang. Gelisah, sebagaimana takut, alat juga. Jika digunakan dengan benar, pasti bermanfaat.”
“Tapi gelisah ini mengganggu. Perasaan tidak enak yang selalu menghantui. Dada terasa sempit.”
Filosof tua membuka matanya. “Anda harus belajar mengelolanya. Tapi jika ingin menguranginya, saya punya beberapa saran.”
Pragmatis muda masih menatap langit-langit. Pikirannya mengembara menatap jalinan sarang laba-laba yang dibuat sebegitu teraturnya. Berpola.
“Pertama, Anda harus bekerja terhadap ketakutan Anda. Jika tidak tahu, cari sebabnya. Biasanya ketakutan itu sambung menyambung. Misalnya, karena belum bayar listrik dan ada tagihan, lalu berpikir, pendapatanku kurang. Bagaimana sekolah anak-anakku kelak? Biaya pendidikan semakin mahal. Belum lagi pergaulan bebas, narkoba. Apakah mereka dapat selamat menghadapi hidup ini? Lalu gelisahlah sepanjang hari. Bermula dari telat bayar listrik, sambung menyambung hingga narkoba. Tautan pikiran nggak jelas yang berujung pada kegelisahan nggak jelas.” Filosof tua menghentikan kata-katanya sejenak. “Padahal yang perlu dilakukan cukup membayarnya. Anda harus berlatih untuk menghentikan pengembaraan pikiran dan bekerja pada masalah utamanya.”
“Kedua,” lanjutnya, “Kurangi hal-hal yang menimbulkan kegelisahan. TV, koran, semuanya menyebarkan berita buruk. Sudah menjadi tugas mereka menyebarkannya, karena berita buruk disukai. Sifat dasar manusia untuk mencari tahu hal-hal buruk, agar mereka bisa menghindarinya. Ini juga bagian dari pertahanan hidup. Tapi hal buruk yang disebarkan media sudah terdistorsi.. maksudnya, sudah berlebihan. Dan sudah saatnya membatasi diri terhadap hal itu. Banyak berita buruk akan memupuk kegelisahaan.”
“Tapi kalau nggak baca koran rasanya kurang. Ketinggalan.”
“Itu perasaan semu yang memang dijejalkan media agar dagangan mereka laku. Kebohongan yang disampaikan secara sistematis dan terus menerus akan menjadi kebenaran.”
“Ah Anda berlebihan.”
“Tidak. Mungkin kalau berhenti seratus persen terlalu ekstrim buat Anda, bacalah sedikit saja, lalu kurangi hari demi hari.”
“Itu saja? Sudah cukup menghentikan kegelisahan..?”
“Terakhir, banyaklah mengingat Tuhan. Sebutlah nama-Nya dalam setiap kesempatan..”
“Hh.. itulah kenapa Karl Marx menyebut agama sebagai candu.. Tempat pelarian jika tidak bisa berbuat apa-apa..”
“Menurut saya tidak seperti itu. Saya memang tempatkan itu sebagai nasehat terakhir untuk menghindari apriori alias prasangka buruk terhadap khotbah. Mengingat Tuhan itu senjata pertama. Alat pertama dalam menghadapi segala hal. Bukan digunakan saat semua diluar kendali. Ia seperti nafasmu, gunakan secara teratur..”
Pragmatis muda tidak bereaksi. Pikirannya masih meneliti pola sarang laba-laba. Filosof tua kembali menutup matanya.
terlalu muda untuk bernapas ketuhanan.
Semenjak lahir, kita sudah bernafas ketuhanan 🙂