Ia mengayuh sepeda, tambah lama tambah cepat. Karena semua orang ingin cepat. Tujuan terlihat dekat. Namun semakin dikayuh sepedanya, ia mendapat dirinya berada satu titik untuk tujuan yang lain. Apa yang hanya ada dalam pikirannya, bagaimana cara membuat kayuhannya semakin cepat. Ban yang terbaru. Rangka paling mengkilap. Rantai yang kuat anti putus.
Dua hal yang ia lupakan. Satu, apakah dia mengayuh sepeda yang benar? Kedua, apakah arah yang ia tuju benar? Sepeda hanya alat, tapi jika tujuannya salah, berapapun cepatnya, ia hanya berputar-putar. Tujuan demi tujuan tanpa tahu titik akhirnya. Ia mendapati dirinya kelelahan, dan kekosongan.
Jika tujuannya benar, tidak masalah sepedanya pelan. Kecepatan tidak penting, karena waktu relatif, dan ia tidak seharusnya mendasarkan prinsipnya pada sesuatu yang relatif. Yang penting, ia rawat sepedanya sehingga selalu bergerak dengan nyaman. Bisa dinikmati. Kenikmatan yang berasal dari tujuan yang benar.
Seringkali ia tertipu dengan pengayuh sepeda lainnya. Mereka berbondong-bondong menuju tujuannya masing-masing. Kecepatannya ditambah. Tenaganya ditambah. Jika perlu dua puluh empat jam mereka mengayuh. Ilusi ketinggalan membuatnya khawatir, dan tidak pernah lagi mereka berpikir, apakah mereka memeras tenaga mengayuh sepeda ke arah tujuan yang benar?
Kecepatan dan perasaan ditinggalkan adalah ilusi yang berbahaya. Berhentilah sejenak. Berhenti. Berhenti sekarang. Simak kembali apa yang menjadi tujuanmu. Karena itu mendasari caramu mencapai kesana. Dan upaya yang kamu lakukan tiap hari untuk itu. Dan pada akhirnya, menjadi nasibmu.