Baru sabtu kemarin berkesempatan nonton Laskar Pelangi, sepulang dari kondangan Hasbi. Hari gini masih penuh juga. Tentang filmnya, cukup menggugah dan lucu. Dua paduan yang jarang ditemukan di film-film Indonesia. Kelucuan (dan keharuan) itu pula yang membuat film ini tidak terasa lambat atau monoton (sebagaimana film serius lainnya, seperti film-film Garin misalnya).
Bukunya sendiri saya baca cuma separo, sebab penggambaran karakter di buku, terutama Lintang dan Mahar, terlalu exaggerated atau diperbuas. Dibilang fiksi, tapi nanggung. Dibilang memoar,  tapi banyak hal yang terlalu diperbuas dengan kombinasi yang kurang pas. Mungkin memang lebih tepat disebut memoar yang beberapa bagian fiktif. Atau novel fiksi yang diangkat dari kejadian nyata. Di beberapa film barat biasanya ada disklaimer, beberapa bagian dari film ini diangkat dari kisah nyata. Namun untuk kepentingan hiburan, beberapa adegan di’modifikasi’. Begitu kira-kira. Maaf buat penggemar Laskar Pelangi, tapi interes saya hilang setelah baca sebagian.
Filmnya sendiri lebih baik dari bukunya, begitu kata banyak orang. Toh pengarangnya sendiri mengakui hal yang sama. Di film lebih manusiawi, meskipun tidak sedeskriptif novelnya (ya iya lahh.. cuma 2 jam gitu). Dan filmnya telah berhasil mengangkat nuansa nostalgik, pendidikan di kampung yang memang seperti itulah yang terjadi di daerah-daerah peolok. Saya sendiri sempat di SD Muhammadiyah, di Suruh, sebuah kampung di jawa tengah. Suasana main di pantai, mengingatkan saya main-main di sawah, atau mandi berenang di kali. Saya ingat waktu mau sholat jumat, bukannya sholat malah mandi di kali rame-rame. Pas datang ke masjid, imam baru selesai salam. Jadilah saya sholat dua rakaat dalam <1 menit, dan pulang berbaur dengan jamaah lainnya. Hehehe.. menyamar. Mungkin karena melakukan kecurangan, hal itu teringat sampai sekarang.
Hampir semua tokoh di laskar pelangi dapat menginspirasi banyak orang. Terutama tentang semangat memperoleh pendidikan, pelajaran akhlak di usia dini, dan keceriaan dalam setiap kesulitan. Film-film seperti ini mengingatkan saya pada film-film Syumanjaya. Menceritakan ketabahan dan keceriaan dalam setiap kesulitan. Dapat dikatakan, film yang berbiaya hampir 8 milyar ini berhasil menyelesaikan misinya. Untuk ukuran Indonesia, ini adalah langkah yang baik. Mungkin film-film hantu, percintaan sudah mencapai titik bubble dan diledakkan oleh film ini.
Pas nontonnya sendiri cukup berkesan, karena ini pertama kali saya mengajak anak kami yang berusia 3 dan 4 tahun nonton bioskop. Pada saat semuanya ketawa, anak saya bingung. ‘Emang kenapa bunda? Kok pada ketawa?‘. ‘Kok bunda sedih?‘ begitu kira-kira. Bagusnya, mereka nggak ngajak pulang sebelum film selesai. Paling cuma sedikit ngomong. ‘Kok nggak selesai-selesai sih filmnya?‘. Mereka sempat tidur-tiduran di tangga karpet jalan orang lewat. Heh.. namanya juga anak-anak.
belum nonton laskar pelangi 😀
kocak pas kata “kok nggak selesai-selesai sih filmnya ?” =))
jadi yang nonton ortu nih 😉