Jaman Fosil dan Pengemis Buta

Peradaban sekarang digerakkan oleh fosil. Setiap energi perlu bahan bakar. Listrik. Mobil. Pesawat. Televisi. Penerangan. Semuanya dari bahan bakar fosil. Bahan bakar yang sangat terbatas. Diperkirakan akan habis 2030. Berarti peradaban sekarang menghadapi titik nadir. Bakal habis. Tanda-tandanya sudah terlihat. Harga bahan bakar melambung. Produksi makanan nggak akan cukup untuk memberi makan setiap kepala penduduk bumi. Kesenjangan menjadi-jadi.

Lalu bentuk peradaban apakah yang mungkin bisa kita adopsi? Memang alam memutar dirinya menjadi satu siklus yang bisa dikatakan, lepas dari campur tangan manusia. Dia punya hukum sendiri. Tapi saya percaya, hukum itu adalah kausalitas. Kita menabur angin, kita menuai badai. Ronggowarsito punya teori jaman kalasuba, jaman kalabendu dan jaman kalatida. Seorang teman, punya teori keseimbangan. Jika damai terlalu lama, perang akan menemukan jalannya sendiri. Pointnya, bisakah kita merumuskan peradaban baru? Atau membiarkan alam menuntun kita?

Pitirim Sorokin, konon mengutip Hegel, menyatakan bahwa peradaban dibentuk oleh tiga landasan. Yakni landasan inderawi, landasan non indrawi dan landasan idealistik. Inderawi, berarti semuanya harus bisa diindra. Ilmu pengetahuan harus bisa dianalisa. Teori ilmiah lewat pembuktian yang bisa diindra juga menjadi garda depan. Fisika mekanik menjadi nyawa kemajuan. Tidak ada tempat bagi metafisik. Spiritual. Klenik. Mitologi. Sihir. Kebalikannya, landasan non indrawi berdasar pada non fisik. Metafisik tumbuh subur. Spiritualitas diagungkan. Mitologi berkembang. Semua yang bisa diindra dianggap dangkal. Sedangkan yang ketiga adalah yang ideal. Gabungan dari keduanya. Keseimbangan. Nah, peradaban saat ini, yang melahirkan kapitalisme (lengkap dengan hedonisme) adalah anak peradaban inderawi.

Pada masa titik nadir seperti saat ini, perlu dirumuskan peradaban baru yang idealistik (atau tepatnya holistik). Spiritualisme dan metode ilmiah bersandingan. Dengan kata lain, pada titik tertentu kita mengandalkan metode ilmiah, namun sebagai motivasi utama adalah nilai-nilai spiritual yang didapat secara pribadi bagi orang-per orang. Pemegang kekuasaan harus menjamin bahwa kehidupan spiritual adalah hak bagi tiap orang dan tidak diganggu, bahkan didorong agar berkembang sejalan dengan pengetahuan ilmiah. Spiritualisme didorong untuk masuk ke ruang-ruang sosial. Bukan pada simbol, tapi pada esensi. Ini yang berat, dimana kaum spiritualis dan cendekiawan sama-sama berusaha mencari titik temu yang seimbang. Yang adil. Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sebab yang muncul adalah penyelewengan, yakni simbol spiritual dimanfaatkan untuk kepentingan inderawi.

Begitulah, renungan orang ngelamun 🙂 Kesepian diantara hingar-bingar kejadian sekitar. Di saat yang lain memuja kekerasan, di mana kelembutan? Di saat yang lain berorientasi pada saat sekarang, di mana visi masa depan? Di saat semua orang merasa paling benar, mana jiwa-jiwa yang sabar lagi mengalah? Sebagai penutup posting ini, saya ingin tuliskan riwayat yang ingin saya bagi kepada siapa saja. Begini…

Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah terdapat seorang pengemis Yahudi buta, yang tiap hari apabila ada orang yang mendekatinya , ia selalu berkata

“Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”.

Tetapi setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu, walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga Beliau wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya,

“anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan”,

Aisyah r.ha menjawab,
“Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnahpun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”.

“Apakah itu?”, tanya Abubakar r.a.

“Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana”, kata Aisyah r.ha.

Keesokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak,

“Siapakah kamu ?”

Abubakar r.a menjawab, “aku orang yang biasa menyuapimu”.

“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa menyuapiku!”, jawab si pengemis buta itu.

“Apabila orang yang sering menyuapiku datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu ia menghaluskan makanannya sehingga aku tidak susah mengunyahnya”, kata pengemis buta itu.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”

Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a., ia begitu terharu hingga meneteskan air mata, kemudian berkata,

“Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghina dan memfitnahnya, namun ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, sungguh ia begitu mulia.” Pengemis Yahudi buta itu pun akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.

4 tanggapan pada “Jaman Fosil dan Pengemis Buta

  • Agustus 20, 2008 pukul 5:41 pm
    Permalink

    Trims linknya. Kesahihan suatu hadits bisa jadi perdebatan yang melelahkan. Mungkin ada pembaca yang tahu riwayat ini?

  • Mei 27, 2012 pukul 12:22 am
    Permalink

    @fade : masuk linknya….apakah seorang yang hidup pada tahun 1917-1965 dapat mengetahui kisah Muhammad & PENGEMIS BUTA, sementara sejarawan tertua tidak pernah mencatatnya? cerita ngawur

  • Mei 28, 2012 pukul 10:00 am
    Permalink

    @ato: Moral dari posting ini adalah kelemahlembutan daripada kekerasan. Tentang riwayat tersebut, silakan percaya atau tidak, itu terserah Anda, tidak perlu mengawurkan orang yang memercayainya..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *