Duhai Engkau, dimana…?

intro: Ini posting di salah satu milis, oleh rid_style@.. maaf saya tidak tahan untuk mempostingnya di sini meskipun belum minta ijin. Semoga bisa menjadi setitik embun untuk para pencari.

Jakarta, 19 May, 2005 17:23:37
Seorang Pecinta pergi ke rumah sang Kekasih, lalu ia mengetuk pintu.  Sang kekasih bertanya: “Siapa yang berada di luar sana ?
Dia menjawab: “Aku“.
Kemudian berkatalah Kekasihnya: “Pergilah kau dari sini.  Di tempatku ini tidak ada ruang bagi mereka yang masih belum mengenal-Ku“.
Sang Pecinta itu pun pergi dengan hati yang penuh duka.

Beberapa tahun kemudian dia datang lagi.  Dia mengetuk pintu rumah Kekasihnya dengan hati yang penuh harap dan berdebar-debar.
Siapa itu ?” :tanya sang Kekasih.
Perlahan ia menjawab dengan segala kerendahan hati.
Engkau, wahai Kekasih” : kata Pecinta itu.
Sahut Kekasihnya: “Oleh karena engkau sekarang Aku, duhai Kekasih-Ku, masuklah, tidak ada tempat bagi dua “Aku di rumah ini”.

Metafor yang disampaikan oleh Jalaluddin Rumi di atas, kembali mengingatkan saya pada sebuah pertanyaan yang engkau ucapkan duhai anakku, Bening Matahari, yang kala itu engkau masih berumur tiga setengah tahun, duduk di pangkuan dan bersandar pada lengan kiriku sambil engkau lontarkan sebuah pertanyaan :
Pak, Allah itu di mana ?
Anakku, janganlah engkau bertanya Allah itu dimana, tetapi katakanlah bahwasanya Allah itu ada” : saya berusaha untuk menjawabnya.
Ya, ada, tetapi ada di mana ?” : lanjutmu.
Anakku, Allah itu dekat“.
“Ya, dekat itu di mana ?” :engkau teruskan pertanyaanmu.
Saya terdiam, hanya ini yang tak terucap, katakanlah: “Aku dekat“.

Perbincangan kala itu masih belum selesai, dengan mempertimbangkan bahwasanya engkau masih terlalu kecil, belum saatnya untuk membicarakan hal-hal yang semacam ini secara lebih dalam lagi.  Dan melalui tulisan ini saya berkewajiban untuk menyampaikan, menyambung kembali sebuah perbincangan yang terputus.

Semoga Allah memberikan setitik kefahaman tentang keberadaan-Nya duhai engkau anak-anakku.  Ilmu Tauhid adalah puncak dari segala ilmu, pelajarilah ini dengan segenap kemampuanmu.  Pergilah mengembara, selamilah samudera Ahadiyyah dan serukanlah tiga nama ke-Esa-an-Nya : Ahad, Wahid dan Shamad dengan lidah rahasia hatimu.  Hanya dengan itu mata hati melihat cahaya ke-Esa-an.  Bila cahaya suci Zat menjadi nyata semua nilai-nilai kebendaan lenyap, semua menjadi tiada apa-apa.

Tiap-tiap sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya“. (QS 28:88).

Ia melihat dengan cahaya Allah.  Di sana tiada gambaran, tiada persamaan di dalam melihat-Nya:

Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya. Dia mendengar dan melihat“. (QS 42:11).
 
Hingga engkau dapatkan sebuah kenyataan bahwasanya : “Kemanapun kau menghadap, disitu terlihat wajah Allah“. (QS 2:115)
 
Inilah puncak realitas, kebenaran hakiki yang tersirat dalam nama Al-Haqq. Hakekat mutlak ini merujuk pada yang ada (wujud), bukan pada yang tidak ada. Inilah makna dari Esa, Tunggal.

Anakku, melalui pembelajaran, suluk, dzauq dan pengamalan, sesungguhnya engkau telah menjadi seorang “Pencari”, jangan berhenti, teruskan, hingga engkau mencapai derajat “Penemu”, seperti yang telah dinasehatkan oleh Nabi kita, Muhammad Al-Mustafa, para Penemu serta guru-guru kita Jalaluddin Rumi, seperti dalam metafor di atas, jadilah seorang “Pecinta” hingga Allah berkenan mengubahmu menjadi seorang “Kekasih”.  Inilah maqam yang dirindukan oleh setiap insan.  Siapa yang tidak berharap untuk menjadi seorang “Kekasih” ?  Semoga engkau mencapai maqam ini, maqam tanpa maqam, masuk dalam golongan yang sedikit, bukan golongan kanan ataupun golongan kiri, raihlah derajat Taqwa duhai anakku.

Anakku, kata di mana sesungguhnya kurang tepat bila engkau persandingkan dengan kata Allah, karena Dialah sang pencipta “di mana” juga sang pencipta “kapan”.  Dia tidak dapat di kenai hukum “kapan” dan “di mana”.  Segala ciptaan ada dalam genggaman-Nya.  Untuk itu rendahkanlah hatimu, karena hati ada diantara dua jari Yang Maha Penyayang.  Dia membalik-balikkan sesuai dengan kehendak-Nya.  Ingatlah, meskipun bumi dan langit tak sanggup meliputi-Nya, namun hati seorang hamba yang di kasihi-Nya sanggup meliputi-Nya.

Duhai anakku,
Dialah realitas semesta, titik pusat lingkaran
Dialah bagian dan keseluruhan.
Dialah yang awal dan yang akhir
Dialah yang dzahir (nyata) dan yang bathin (tersembunyi)

Duhai anakku,
Jika engkau melihat diri-Nya, engkau tengah melihat dirimu sendiri.
Tetapi engkau tak dapat melihat-Nya melalui dirimu sendiri
Dialah Keindahan, Dialah Keagungan
Cintailah Dia, Cintailah Dia, Cintailah Dia saja
Dekatkanlah dirimu kepada-Nya
Sebab jika engkau mendekati-Nya
Sesungguhnya itupun karena Dia telah mendekatimu

Duhai anakku,
Dia lebih dekat daripada dirimu sendiri kepadamu
Dia lebih dekat dari pada jiwamu, dari pada nafasmu
Dia yang memperlakukanmu sebagaimana yang Dia perbuat
Dia lebih cemburu kepadamu lebih dari kecemburuan dirimu
Dia ingin engkau tak jadi milik siapa-siapa
Tidak juga milik dirimu
Jadilah milik-Nya
Jadilah untuk-Nya
Sebagaimana engkau ada pada-Nya

Anakku, ke-dekat-an Zat Tunggal ini dapat kita temui dalam surat makiyah, bahwa wali-wali Allah tertinggi diterangkan sebagai Al-Muqarrabun (yang dekat) dan ke-dekat-an ini dijelaskan pula dalam kata-kata : “Kami lebih dekat dengannya di banding pembuluh darahnya/urat lehernya sendiri“.  Dan dalam hadist Qudsi di terangkan bahwa :

Hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah sunah hingga Aku mencintainya; dan ketika Aku mencintainya maka:  
Aku menjadi telinganya, yang dengannya ia mendengar.
Aku menjadi matanya, yang dengannya ia melihat.
Aku menjadi tangannya, yang dengannya ia memegang.
Dan Aku menjadi kakinya, yang dengannya ia berjalan (melangkah)“.

Ke-dekat-an ini lebih mampu membawa insan menuju Hadirat Ke-Tunggal-an yang tanpa sekutu dan Ke-Esa-an yang lebih murni.  Janganlah engkau menegaskan Ke-Esa-an-Nya, karena hal ini berarti membuat pembanding bagi diri-Nya.  Dialah penegas bagi Ke-Esa-an-Nya melalui sebuah pertanyaan : “Bukankah Aku Esa?”

Anakku, ini hanyalah sebuah prelude, esensi dan hakekatnya, kelak engkau yang akan menuliskannya sendiri.  Buang jauh ego dan sifat ke-aku-anmu, karena hal itu tak lain adalah hijab yang menghalangi penglihatan untuk dapat menatap Wajah-Nya.  Tetaplah berpegang teguh pada tali Allah, karena apapun yang ada padamu tak akan lepas dari perbincangan orang-orang di sekitarmu.  Tetaplah jaga pandanganmu, sebagaimana pandangan rasulullah saw, yang tertuju hanya pada Wajah-Nya, tidak berpaling kekiri ataupun kanan, tidak kurang dan tidak pula melebihi.

Anakku yang kukasihi, maafkanlah aku yang telah menyia-nyiakan waktuku, sehingga dari apa yang aku sampaikan – meskipun aku ini hanyalah setitik debu, bahkan lebih rendah dari itu – agar supaya, kalaupun engkau tidak kemana-mana dalam pengembaraan ruhanimu, setidaknya jangan menyangkal hakikat spiritual dan ajaran-ajaran Ilahi.  Dan jika engkau bertanya kepadaku: “Mengapa nasehat ini tidak engkau tujukan kepada dirimu sendiri, duhai bapakku ?”.  Saya hanya dapat berkata bahwa apa yang aku sampaikan di sini sudah selayaknya untuk engkau pahami, jangan melihat pada siapa yang menyampaikan, tetapi pandanglah pada apa yang di sampaikan, meskipun ini disampaikan oleh orang yang hina sekalipun.

Duhai anakku, semoga Allah melimpahkan ampunan-Nya kepadaku dan juga kepadamu, membimbing, menjaga dan menganugerahkan setitik dari cahaya-Nya, maafkanlah bapak yang hanya mampu mencoretkan pena di atas selembar kertas kumal ini, meski tanpa makna, setidaknya hal ini karena atas perkenan-Nya jua.

Wahai anakku, camkan ini, semoga engkau ridha dan diridhai.

Duhai Engkau, dimana berada …?
Katakanlah: “Aku dekat”, duhai kekasih.

Sebuah pengilon :
(Khususnya untuk diri saya sendiri, Bening Matahari & Tari Matahari)

Satu tanggapan pada “Duhai Engkau, dimana…?

  • Oktober 10, 2008 pukul 6:50 pm
    Permalink

    bagus, cukup mencerahkan jiwa. Terimakasih. Mohon ijin saya copy paste ya Pak.

    Itu bukan tulisan saya. Dapat juga dari milis. Mudah-mudahan penulis awalnya berkenan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *