Dalam berdiskusi atau memberikan statement, saya seringkali ketemu orang yang mencampuradukkan antara fakta dan asumsi. Parahnya asumsinya dianggap sebagai fakta sehinga menjadi kebenaran tak terbantahkan.
Misalnya, harga-harga mengalami kenaikan (fakta), penghuni rumah sakit jiwa meningkat (fakta). Banyaknya harga barang yang naik, orang menjadi stress (asumsi). Contoh lain, sopir sudah 2 hari tidur hanya 1 jam (fakta), bus yang dikendarainya menyenggol sepeda motor (fakta). Motor disenggol bus karena sopir mengantuk (asumsi).
Ada dua hal dari contoh-contoh tersebut.
- Meskipun beberapa kejadian terlihat berhubungan, atau terjadi berurutan, belum tentu satu hal merupakan penyebab dari hal lainnya. Contoh yang paling ekstrim adalah ayam berkokok (fakta), matahari terbit (fakta), dan hampir setiap hari matahari terbit setelah ayam berkokok (fakta). Matahari terbit karena ayam berkokok (asumsi).
- Fakta adalah suatu kejadian yang bisa diterima pembuktiannya. Asumsi adalah pernyataan yang masih perlu dibuktikan. Dalam contoh di atas, perlu dibunuh semua ayam di dunia ini untuk membuktikan apakah benar matahari terbit karena ayam berkokok.
Yang repot pada saat orang tidak bisa membedakan mana fakta dan mana asumsi. Kalau baca koran, lebih jelas lagi gaya bahasanya. Hampir semuanya asumsi (opini). Contoh headlinenya: Polisi tak sanggup atur lalu lintas di jalur mudik (asumsi/opini), isi beritanya jalur mudik di banyak tempat macet (fakta).
Dan lebih repot lagi, jika menganggap bahwa asumsi itu adalah fakta. Membaca berita di atas, secara tidak sadar membenamkan kesadaran bahwa polisi tidak becus. Padahal itu bukan fakta. Di tambah lagi dengan bumbu memetika, judul biasanya menebarkan ancaman. Dan biasanya orang tertarik mendengar berita ancaman (harga barang melonjak tinggi, supermarket X menjual daging busuk dst).
Dan yang paling repot, setelah menganggap asumsi itu adalah fakta, disebarkanlah asumsi tersebut kepada orang lain, bahkan memaksa orang untuk menerima hal tersebut sebagai fakta. Ini dinamakan pengarahan opini. Pengacara lihai atau politisi ulung jago retorika pasti lihai membungkus dua hal ini, sehingga membuat lawan bicaranya jadi terpojokkan.