Setiap orang punya kadar kesulitan sendiri-sendiri. Saya kenal di kampung halaman, seorang ibu pemulung, yang berjalan kira-kira lima belas kiloan memungut barang-barang bekas yang bisa dijual. Dia selalu tersenyum. Istri saya pernah cerita, si ibu hampir pingsan karena bulan puasa, nggak kuat lagi mencari barang. Siang terik. Dan dia tetap puasa. Dia hanya tergeletak di depan rumah, sebelum melanjutkan perjalanannya.
Alkisah si ibu punya anak laki-laki yang pernah jatuh. Kelihatannya ada yang nggak beres dengan kepalanya. Terpaksa, tiap bulan berobat, dan terus menerus diminumkannya obat itu. Tapi si ibu selalu tertawa. Bicaranya renyah. Nggak kelihatan dia menanggung kesulitan apapun.
Mungkin ada yang lebih berat dari itu, dan tetap tersenyum setiap kali bangun di pagi hari. Mungkin ada yang lebih sederhana, seperti bos yang galak, ujian nggak lulus sehingga mengulang. Dan rasanya seperti kiamat.
Satu hal yang saya yakini bahwa setiap permasalahan yang menghampiri, adalah  tergantung kita, 100%, bagaimana kita bereaksi. Mau bereaksi panik. Takut. Was-was. Biasa saja. Sedih. Semuanya tidak akan terjadi jika kita menghendaki. Kita bisa memilih. Kita bisa menyusun, reaksi apa yang kita keluarkan. Bisa dilatih.
Emosi yang memicu reaksi itu, mirip pendulum. Dia bukanlah rumusan baku. Bergerak ke kanan ke kiri. Kadang meluap-luap, kadang melempem. Bagaimana mengatur pendulum itu agar bergerak sesuai keinginan kita di saat yang tepat. Itulah rahasia hidup. Itulah yang harus dipecahkan, dilatih dan dilakukan terus menerus hingga nafas yang terakhir kalinya keluar dari tenggorokan.