Waktu kemaren diskusi sama Bli Made, kenapa pengembangan perangkat lunak open source di Indonesia jarang ditemukan.
Dari pengamatanku disini, aku menyampaikan pendapat, bahwa developer di luar negeri (dalam hal ini Inggris) relatif memiliki ‘rasa aman‘ yang cukup tinggi. Dalam arti bahwa mereka bisa mengartikulasikan hobi ngopreknya tanpa harus khawatir nggak bisa makan. Pendapatan yang mereka peroleh cukup untuk menunjang ‘rasa aman‘ sehingga dapat ngoprek tanpa beban yang berarti. Kalau di Indonesia hal ini sulit. Sebab setiap orang dituntut untuk cari nafkah supaya bisa survive. Sehingga, ngoprek dilakukan jika punya ekstra waktu setelah mencari ‘nafkah utama‘, dan rata-rata dengan kondisi demikian, relatif tidak memiliki waktu.
Bli Made membantah bahwa dulunya ia juga berfikiran seperti itu. Namun setelah dirasa-rasa, ada tingkat ‘rasa aman‘ yang berbeda. Mahasiswa/Opreker (baca hacker) di luar negeri (dalam hal ini di Jerman), memiliki batas rasa aman yang sangat toleran. Kalau diitung, mereka rata-rata punya pendapatan yang normal (dalam perbandingan dengan nilai barang di lingkungannya). Mereka merasa cukup misalnya dengan 5 stel baju, rumah ngontrak, makan ala kadarnya dan buku berjumlah ratusan :). Dan di Jerman hal ini dianggap biasa, bukan sesuatu yang \’rendahan\’. Masyarakat tidak menuntut bahwa untuk sukses harus bisa ngumpulin duit sebanyak-banyaknya. Bahwa batas \’aman\’ atau batas \’cukup\’ adalah cukup dalam arti yang sebenarnya, dan bisa menyalurkan hobi sepuasnya. Tanpa harus dituntut masyarakat untuk cari duit sebanyak mungkin.
Dan ini dirasakan lain dengan kita (terutama Indonesia di kota-kota besar), setiap orang merasa dituntut untuk cari duit yang sebanyak-banyaknya. Kata-kata \’cukup\’ menjadi standar yang sangat tinggi, dan orang jadi minder (merasa nggak berarti) jika nggak bisa ngumpulin banyak duit. hmm.. kurang lebih begitu dari sisi sosialnya.
Tambahan faktor lain, yang menurutku esensial, adalah keberdaan \’super ego\’. Dari pengamatan Eric S. Raymond, dalam proyek open source yang sukses biasanya ada super ego. Pengembangan kernel tetap konsisten karena masih ada ego-ego seperti Linus Torvald, Alan Cox dll, Emacs dan Gcc masih ada Richard Stallman dll. Hal ini bisa dibilang masuk akal, sebab dalam komunitas open source yang heterogen, dimana masing-masing developer berada di tempat terpisah, dan memiliki keinginan yang bermacam-macam pada saat mengembangkan suatu perangkat lunak, diperlukan leader yang kuat agar tetap terarah dan dinamis.Mungkin itu dulu catatannya, dah pegel nih jari. Oh ya, buat yang belum paham, ngoprek bisa berarti ngotak-atik komputer dengan \’passion\’ hingga memahami/memecahkan/menghasilkan sesuatu. Kerennya disebut \’hacking\’.